Saturday, June 30, 2007

From Rome to Perugia

June 28, 2007

IN ROMA TERMINI, THERE WAS A CHANGING GATE.

Today, I leave the eternal city meaning “Rome” for two months and must go to Perugia for taking course of Italian language. I and my partner, franciscan too, depart from Termini, central station of train in Rome. I don’t know what destiny stand in front of us. What has happened in Termini was like what has happened in Kuala Lumpur’s airport. If in Kuala lumpur there was suddenly changing gate, in Termini there was changing line of train. The schedule said that Train to Perugia, depart on 12.14 in fourth line. But, when we waited in the fourth line, we don’t see anything. No train was in the fourth line. Afterwards, I look for central information to ask about this change. The staff of station said that train to Perugia was on the sixth line. Bullsyeet…Fortunately, we know this change before 12.14. Do you can imagine if we loss the train? Surely, we will be sorry to Guardian of the Convento Monteripido because he must wait us.

ALONG THE JOURNEY TO PERUGIA

You should know that it was a first journey with train in Italia. I don’t know the distance between Roma and Perugia. Perhaps, if it is compared with some city in Indonesia, it is same with distance between Jakarta and Bandung, because the time of this journey about 3 hours. Train in Italy is different with in Indonesia. Though I take seat of economy class, I feel that I take a Taksaka. Hehehe. Anyway, do you know how much I must pay for this? 10 Euro = Rp. 120.000 rupiah. You think, it’s very expensive. But in Italy, it’s a normal rate. OK. I will continue my story. Along the journey to Perugia, I saw the antique cities, espesialy Assisi. Some years ago, I only see Assisi in photograph or picture. But at that time, I see Assisi with my eyes. It’s amazing city. Standing in hill, Assisi can be seen by everyone who pass beside it, both in train or bus. After passing Assisi, we arrived in Perugia.

DI STASIUN PERUGIA

(Sekarang, memakai bahasa Indonesia saja deh, biar variasi gitu loh).
Sesampai di stasiun Perugia, sebenarnya kami mau telpon ke biara Monteripido, di mana kami akan menginap. Tetapi, thanks goodness (meno male). Begitu, kami mau keluar stasiun, di situ ada seorang laki-laki yang cukup tua (60-an) memegang kertas bertuliskan Monteripido. Eh…ternyata dia adalah pater Rino yang sengaja menjemput kami. Dalam hati, aku memuji pater ini. Sudah lumayan tua, masih sempat-sempatnya menjemput kami yang masih muda-muda ini. Kami bersalaman dan saling memperkenalkan diri, tentu saja dalam bahasa Italia. Ingat ya, bahasa Italia kami masih patah-patah, seperti goyang patah-patah. Tapi, goyang patah-patah enak dilihat. Sedangkan, bahasa Italia kami yang patah-patah jelas tidak enak didengar. Hahaha.
Akhirnya, kami tidak jadi telpon yang tentunya harus pakai bahasa Italia. Huhuhu…sedihnya tidak bisa berbahasa Italia (untuk sementara waktu loh). Kami naik mobil. Tentunya, Pater ini yang nyetir. Meskipun sudah tua, kayaknya tidak kalah deh dengan Hamilton (F1). Jarak dari stasiun sampai biara Monteripido tidak terlalu jauh. Jika naik mobil, waktu yang harus ditempuh adalah 10 menit. Kalau jalan kaki mungkin 40 menit. Soalnya, biara Monteripido ini terletak di luar tembok kota dan di atas bukit. Mmm…Perugia itu adalah kota yang sudah lama dibangun. Yah untuk tidak menyembut kuno. Nah, kota kuno kan biasanya punya tembok tebal sebagai pertahanan kota. Perugia pun punya tembok tebal dan menara tinggi. Begitu sampai di biara, kami pun langsung dibawa ke ruang makan. Sekali lagi syukur kepada Allah. Akhirnya mendapat makanan juga. Hehehe. Soalnya sejak pagi belum makan karena kami berangkat pukul 12.14, sementara sebelum jam itu di Collegio Antonianum Roma, belum ada makanan). Sekali lagi, terima kasih Pater Rino.

CONVENTO MONTERIPIDO

Awalnya, aku tidak tahu bagaimana bentuk Convento (Biara) Monteripido itu. Yang aku tahu bahwa sewaktu berada di Perugia, aku akan tinggal di biara Monteripido. TERNYATA, Biara Monteripido itu RUARRRR BIASAAAAA. Dari luar sih, tampak seperti bangunan kuno. Batu batanya dibiarkan kelihatan agar terasa keantikannya. Sepertinya pemerintah Italia sengaja memperhatikan keantikan suatu bangunan. Tetapi Bo, di dalam biara itu, semua prasarana sangat modern. Ada lift yang bisa dipakai setiap waktu. Pakai internet bisa suka-suka karena setiap kamar diberi akses untuk membuka internet. Sampai mata keluar karena kecapaian browsing juga nggak masalah kok. Lalu, cuci piring, gelas, garpu, dan sendok saja, pakai mesin. Di kamarku ada kamar mandinya sendiri. Mau pilih air hangat atau air dingin, bisa diatur. Pokoknya fasilitas serba modern. (bisa lihat fotonya di samping blog ini kok).
Begitu aku sampai, aku diperkenalkan kepada Pater Gardian, Padre Renato. Orangnya baik banget. Lebih pendek dariku, tetapi lebih tua dari aku. Cocok untuk disebut kakek Renato. Begitu sampai, tanpa menyadari kecapaian kami, langsung kami diberitahu seluk beluk biara ini. Kamar-kamar, lorong-lorong, dan penggunaan kunci. Pokoknya lengkap. Anyway, lorongnya banyak sekali loh. Sampai-sampai aku pernah tersesat. Oh…ya, sebagian kamar dari biara ini disewakan untuk kos mahasiswa loh. Yah daripada nggak dipakai, alias dibiarkan kosong gitu loh. Soalnya, biara besar kayak gini, yang menghuni Cuma tujuh Fransiskan. Padahal kamarnya banyak loh. Sekitar 30-an. Enam abad yang lalu sih penghuninya banyak. Tetapi, zaman sekarang, ketika panggilan di Eropa merosot, so kamarnya jadi kosong.
O…ya, Biara ini dulu pernah di huni Beato Egidius loh. Ada peninggalannya di sini. Maksudnya relikui. Tadi aku jalan-jalan di sel (kamarnya) Beato Egidius dulu. Kecil banget. Sebetulnya ada banyak yang bisa diceritakan tentang biara ini. Namun, kata-kata tidak akan pernah cukup untuk menceritakan ke-dashyat-an biara ini. OK. Lebih baik aku tunjukkan fotonya deh. Lihat disamping blog ya.


No comments: