Thursday, June 21, 2007

5 hari pertama di kota Abadi Roma

SEMINGGU PERTAMA DI KOTA ROMA



Sukarno-Hatta Airport, 16 Juni 2007 (18.00-19.45 WIB)

Inilah hari terakhir bagiku di Jakarta sebelum aku berangkat ke Roma. Inilah pertama kalinya aku pergi keluar negeri. Memang cukup ribet untuk orang kampung seperti diriku. Harus urus yang inilah, yang itulah. Padahal aku bukanlah tipe orang yang tidak mau repot dengan urusan yang sepele-sepele seperti ini. Padahal kalau dipikir-pikir, semuanya itu penting juga. “Lha wong, mau ke luar negeri kok gak mau terima konsekuensinya”. Akhirnya, setelah urusan boarding pass, check-in, dan fiskal sudah selesai, aku langsung bersiap-siap masuk area boarding.
Aku menyesal sekali, mungkin Agung Setiadi juga, bahwa kami tidak bisa bersalaman atau berpamitan secara langsung dengan pengantar-pengantar kami yang setia – Acoy si porter, Bambang begawan, dan Alex sopir (mereka ini frater dan bruder OFM lho) – menunggu kami di Mc Donald sampai semuanya selesai. Cuma via SMS dan telepon saja kami berpamitan. Sedih juga tidak bertemu lagi untuk beberapa tahun karena kami tidak tahu kapan kami akan kembali. Maksudnya, berapa tahun lagi kami akan kembali, tidak bisa dipastikan.
Selain itu, tidak gampang juga berpisah dengan sahabat-sahabat yang aku sayangi. Siapa mereka? Off the record dong. Soalnya, kan ini diary di blog yang dibaca banyak orang. Takutnya, ntar malah jadi gosip. Apalagi kalau orangnya di tempat jauh, kan gosip malah tampah sip. OK aku beri tahu kodenya : Mereka adalah orang-orang yang aku telpon sewaktu aku sibuk urus ini itu di Bandara, baik yang menjawab maupun yang tidak menjawab. Tidak apa-apa kok, my friends. Berat juga berpisah dengan orang-orang yang berpengaruh dalam diriku, entah langsung atau tidak. Namun, yang namanya hidup, kan harus bersiap-siap untuk bertemu dan berpisah secara fisik. Tetapi, secara batiniah, tidak ada yang namanya perpisahan. Friends kapan-kapan ketemu lagi ya! O ya, keluarga juga sempat aku telpon. Mmm…wakil dari keluarga maksudnya yaitu My beloved mother. Tidak lama juga sih ngomongnya. Takut pulsanya habis. Kan aku harus telpon banyak orang. Setelah puas berbicara dengan banyak sahabat via telpon seluler, akhirnya aku masuk pesawat MH (Malaysia Airlines) 724. Take off.

Bandara Kuala Lumpur (23.00 – 24.00 Waktu Malaysia)

Kami tiba di bandara Malaysia pukul 23.00. Inilah pertama kali kami berada di bandara di negeri asing. Ternyata bandara Kuala Lumpur itu luas sekali. Ternyata, tidak ditemukan sedikit lumpur pun meskipun bandara itu di kuala (kolam) lumpur. Hehehe…just kidding. Yang ada malahan kuala beton dan landasan yang luas sekali. Nah, menurut jadual, waktu transit kami adalah dua jam. Eh, ternyata pesawatnya mendarat terlambat. Aku gak tahu mengapa terlambat. Kan tidak mungkin pecah ban di udara atau listriknya mati? Akibatnya, waktu transit kami semakin berkurang. Cuma tinggal 45 menit. Sialnya lagi, pintu (Gate) yang tertulis di tiket boarding pass ternyata berubah secara mendadak. Kami sudah susah-usah mencari cari Gate G06 – maklum baru pertama kali di Kuala Lumpur – eh.. ternyata Gate-nya di tempat yang kami tidak tahu. Gate untuk penerbangan menuju Roma, berubah dari G06 menjadi C35. Kami tidak tahu sama sekali di mana C 35 itu. Padahal kami sudah mau masuk G06 yang ternyata berubah menjadi Gate untuk penerbangan ke Swiss. Saat itu, waktu tinggal 20 menit. Lalu kami menuju suatu koridor tertutup yang mengarah ke Gate.. 1-37. Eh…ternyata koridor itu bergerak. Wow…ternyata itu tram bandara. Dasar kampungan, pikirku. Jaraknya sekitar 500 meter dari Gate06 ke Gate C35. Cukup jauh juga. Kami tiba di Gate itu 15 menit sebelum penerbangan. Setelah memperlihatkan boarding pass, kami masuk pesawat yang tinggal 5 menit lagi akan berangkat. Ternyata, para penumpang dari Jakarta sudah dipanggil-panggil sejak tadi. Mungkin karena sedikit panik, maka kami tidak mendengar pengumuman itu. Lha gimana nggak panik, lha wong waktu transitnya pendek, pengalamannya minim, dan terjadi perubahan Gate. Yah, untunglah kami datang on time. Betul-betul on time. Begitu masuk, langsung take off. Saya membayangkan jika kami tetap masuk GateG06, mungkin kami sekarang sudah berada di Zurich, Swiss. Lalu dideportasi ke Roma. Hehehe. Untunglah tidak terjadi. Dan ini yang penting bahwa kami berangkat berdua. Jadi bisa berdiskusi ketika terjadi persoalan. Benar juga saran Yesus agar kalau diutus untuk pergi tuh hendaknya berdua-dua.
Perjalanan dari kuala lumpur ke Roma cukup melelahkan. Lelah bukan karena banyak gerak, tetapi duduk selama 12 jam. Badan menjadi kaku semua. Meskipun kami sempat tidur, tetapi kalau tidurnya sambil duduk ternyata nggak berefek menyegarkan, tetapi malahan membuat semakin capek. Peredaran darah jadi gak lancar. O ya, baru kali ini saya merasa malamnya begitu panjang. Masak, malam kok sampai 16 jam. Hehehe. Maklum terbang ke belahan dunia bagian barat.

Bandara Leonardo Da Vinci, Fuimicino. 17 Juni 2007 pukul 07.20 waktu Italia.

Hari ini adalah hari yang tidak pernah akan kulupakan seumur hidup. Mengapa? Untuk pertama kalinya aku menginjak kota Roma. Waktu SD, SMP, Seminari, bahkan waktu masih frater, tidak pernah terbayang akan menginjak kota Roma, yang katanya pusatnya gereja Katolik. Nah, begitu turun aku langsung dicek macam-macam. Aku tidak sempat cium tanah seperti Paus Yohanes Paulus II. Ntar, kalau sudah jadi Paus, aku akan cium tanah deh. Sebelum jadi Paus, cium orang aja deh. Hehehe. Bercanda loh.
Nah, inilah awal saat-saat menggelisahkan diriku selama 4 hari pertama di Roma. Ketika aku menunggu bagasiku. Ternyata bagasiku tidak ada. Sudah dicari ke mana-mana ternyata bagasiku tidak ada. Aku bingung bin cemas bin kecewa bin capek bin dongkol bin marah. Bagaimana tidak, lha wong semua perlengkapan dan banyak hal ada di bagasi itu. Lantas, aku lapor ke bagian pengurusan bagasi. Eh…ternyata bagasi saya masih ketinggalan di Kuala Lumpur. Busyeeeeeet deh. Aku heran setengah mati, gimana bisa ketinggalan. Lha wong bagasiku dan bagasinya Agung dijadikan satu, kok ya bisa-bisanya bagasi yang satu nyampe, yang satu masih berkeliaran di Kuala Lumpur. Aku mengurus bagasi itu sampai satu jam. Sdr. Hermen Pinto OFM yang menunggu kami, bingung-bingung mencari kami. Dia pikir kami memakai penerbangan yang lain. Akhirnya, aku dikasih 60 Euro untuk beli perlengkapan seadanya selama bagasi itu belum ketemu. Maksudnya baju untuk ganti gitu loh. Tetapi, tetap saja hatiku tidak tenang.
Hari pertama masuk Roma diwarnai dengan hati yang tidak tenang, mendongkol, dan kecewa. Tetapi, sekurang-kurangnya sekarang aku bisa merasakan betapa susahnya orang kehilangan bagasi itu. Memang susah bo. Dalam perjalanan ke kota Roma – bandara terletak sekitar 40 km dari kota Roma – aku cemas kalau-kalau bagasi itu tidak kembali, atau malahan kembali ke Jakarta. Uangku yang hanya beberapa ribu Euro (tidak nyombong ya. Ini juga semua pemberian umat kok) pasti tidak cukup untuk beli segala macam barang. Harga-harga di sini melangit bo. Dan lagi, kalau sampai bagasiku hilang, aku kan tidak enak dengan orang-orang yang telah memberikan barang-barang untuk aku bawa ke kota Roma. Termasuk pemberian maminya Stefi, vitamin C yang banyak banget. (Catatan untuk Stefi…Stefi, jangan bilang-bilang sama mamimu ya. Gw jadi malu nih). Oh… sedihnya kehilangan bagasi.

Collegio San Antonio, Roma 17 Juni 2007 pukul 09.00 waktu Italia

Sebelumnya aku tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk collegio Internazionale San Antonio itu. Ternyata….besar sekali. Dindingnya tebal-tebal dan bangunan termasuk bangunan kuno. Dari Colloseum yang terkenal itu, jarak asramaku kira-kira 500 m. Nah, setiap hari aku bisa melihat Basilika San Antonio. Soalnya, jendela kamarku berhadapan langsung dengan Basilika San Antonio. Jarak antara kamarku dengan Basilika ini cuma 50 meter. Besar loh Basilikanya. Mirip-mirip dengan Katedral jakarta. Oh ya, ternyata collegio-ku atau Asramaku itu mengelilingi Basilika ini dan tingginya sampai lima lantai. Aku berada di lantai kedua. Aduh senangnya….tiap hari aku memandang menara di Basilika dan Jam di situ. Kebetulan, jamku kan sering macet. Hehehe.
O ya, ternyata aku di sini termasuk orang yang pandai bahasa Inggris. Maklum, orang-orang di collegio ini banyak yang tidak tahu bahasa Inggris. Atau bahasa Inggrisnya sepotong-sepotong dan pronounciation-nya amat tidak jelas. Yang mereka tahu, hanyalah bahasa Italia. Mereka umumnya tahu cuma dua bahasa saja, bahasa ibunya dan bahasa Italia. Itu juga karena mereka bersekolah di Italia Sedangkan aku, dalam sehari mungkin empat bahasa harus aku keluarkan. Bahasa jawa dengan rekan imamku dari jawa itu. Bahasa Indonesia ketika pastor dari TimTim itu datang dan nimbrung ngobrol, lalu Bahasa Inggris ketika para mahasiswa Asia dan Afrika ngobrol bareng, lalu Bahasa Italia yang masih minim banget itu, jika ada orang Italia datang.
Tetapi ngomong-ngomong, waktu itu hatiku masih cemas. Soalnya, bagasinya belum ditemukan.

Basilika San Pietro, 17 Juni 2007, pukul 11.00 waktu Italia.

Walaupun hatiku masih dirundung cemas karena bagasiku masih “menginap” di Kuala Lumpur, dengan berat hati aku mengikuti ajakan rekanku untuk jalan-jalan ke Basilik San Pietro. Dalam keadaan masih kelelahan, aku memaksa diri ke Basilika untuk naik Metro (Kereta Bawah Tanah) dan jalan kaki yang capeknya minta ampun. Panas sekali dan panasnya jelek. Panas tapi tidak bikin keringatan. Akhirnya, kami bertiga sampai di Basilika. Aku dan dua pastor juga bertemu dengan dua suster dari Indonesia. Eh…rupanya mereka mau mengadakan acara perpisahan. Salah satu dari pastor kami akan pergi ke portugal, sementara suster yang lain akan balik ke Indonesia,
Memang, basilika san Pietro sangat megah. Aku terkagum-kagum dan berpikir “Berapa duit yang dibutuhkan untuk membangun bangunan seperti ini?” Pantesan saat itu, gereja hampir bangkrut dan meminta duit umatnya. Tetapi, sekarang pasti pemasukannya juga gede dengan adanya turis yang datang tak kunjung henti.O ya, sambil menahan kantuk dan pusing, aku berputar-putar seputar Basilika. Aku tidak masuk Basilika karena banyak turis yang berebut masuk. Toh, nanti masih banyak waktu untuk masuk ke situ.
O..ya, acara perpisahan pastor dan suster itu berlangsung di restoran cina. Makanannya sih biasa-biasa saja, tetapi harganya itu kalau dihitung dengan kurs rupiah….mahal amat. Maka, tidak usah saya sebutkan. Ngomong-ngomong soal uang Euro, aku jadi ngeri sendiri kalau semua harga aku referensikan ke rupiah. Bayangin aja. Naik metro-bus (seperti transjakarta gitu) dan metro Italia (seperti KRL jurusan Bogor – Jakarta yang kelas AC) harus membayar 1 Euro (12.000 rupiah bo). Padahal transjakarta kan Cuma 3500 rupiah dan KRL paling-paling 8000 rupiah. Biaya hidup di sini mahal banget. So, aku harus pintar-pintar berhemat kalau mau beli buku.
OK…setelah makan di restoran Cina, kami jalan-jalan keliling pusat kota Roma. Kami mengunjungi Basilika Santa Maria Maggiore. Besar banget bo. Dalam perjalanan pulang menuju Collegio San Antonio, aku mampir di toko barang-barang yang harganya termasuk murah. Namanya toko Mas. Aku beli baju, celana, dsb,dsb. Semua ini terpaksa aku buat karena bagasiku ketinggalan di Kuala Lumpur. Busyeetttttttt Malaysia Airlines.
Setelah capek, aku balik ke kamar. O ya, sebelumnya pada saat aku makan, aku diperkenalkan oleh Rektor Collegio bahwa kami adalah mahasiswa baru dari Indonesia yang akan belajar di Roma.
Malamnya, aku tetap tidak bisa tidur dengan tenang karena bagasiku belum kembali. Ternyata, kehilangan barang itu menyebalkan banget, apalagi kehilangan orang. SATU KENANGAN YANG TAK PERNAH KULUPAKAN adalah PERTAMA KALI MENGINJAK KOTA ROMA, AKU SUDAH DI HADAPKAN PADA SUATU PERSOALAN YANG TIDAK RINGAN: BAGASIKU KETINGGALAN DI KUALA LUMPUR DENGAN TIDAK ADA KEPASTIAN KAPAN BAGASIKU ITU AKAN DATANG.

18 Juni 2007

Hari ini aku pergi mengunjungi calon sekolahku. Oleh rektor, kami disuruh untuk meminta surat ke institut tempat aku akan belajar lagi. Aku bayangkan bahwa institute yang akan aku masuki itu sebesar STF Driyarkara. Eh…ternyata tidak. Lebih mirip apartemen gitu lah dan kelihatan dari luar tidak seperti sebuah universitas. Dan memang kebanyakan Universitas di kota Roma, tidak mirip universitas. Tidak seperti di Indonesia yang bangunannya amat megah, meskipun mutunya masih perlu dipertanyakan. Ternyata untuk sampai ke Institute itu dari Collegioku cukup jauh. Jika jalan kaki harus melewati Colloseum dan Piaza Venezia yang terkenal itu. Kalau jalan kaki dibutuhkan waktu sekitar 30 menit. Wah…. seperti Olah Raga aja.
Begitu sampai di sana, aku pergi ke sekretariat Institute itu. Ketika aku minta surat agar bisa mengurus soggiorno (izin tinggal)itu, dia langsung membuatnya pada saat itu juga. Beginilah cara kerja orang Eropa yang aku suka. Cepat selesai.

19 Juni 2007

Tidak ada kegiatan yang dilakukan hari ini kecuali jalan-jalan. Aku bersama rekanku itu mencoba naik metro-bus. Dengan bahasa Italia yang patah-patah, kami mencoba tanya sana sini tentang ini dan itu. Ini soal percaya diri saja. Dan pos pemberhentian kami terakhir dari acara jalan-jalan hari ini adalah Basilik Giovanni Laterano. Gila bo…megah banget. Ini kan pusat Gereja Katolik sebelum dibangun Basilik San Pieter. Kurasa lebih seni ketimbang Basilik San Petrus. Gambar-gambarnya indah banget. Aku hanya melongo saja ketika masuk. Tak ada kata-kata yang bisa diucapkan untuk melukiskan keindahan basilik Lateran ini.

20 Juni 2007

Hari ini adalah hari yang membahagiakan bagiku. Tahu sebabnya nggak? Sebabnya adalah bagasiku yang hilang telah kembali. Seperti anak yang hilang aja ya. Ceritanya begini. Hari ini, Pinto, rekan imamku yang sudah 4 tahun belajar di Roma akan berangkat ke Portugal dan tidak lagi kembali ke Roma. Berhubung ketika kami tiba di Italia, dia yang menjemput, maka adalah kewajiban bagi kami untuk mengantarnya di Bandara. Sebetulnya aku sudah merasa putus asa dan pasrah saja dengan bagasiku yang terkapar di kuala lumpur. Gimana tidak putus asa, lha wong katanya mau diantar dalam dua hari lagi. Eh ternyata tidak diantar-antar. “Jika hilang ya sudah, anggap saja cobaan”. Begitulah pikiranku yang berada diambang kegalauan.
Maka, ketika mengantar Pinto ke Bandara, aku sekalian membawa surat pengurusan bagasi yang nyangkut entah di mana waktu itu. “Kalau ada waktu dan bisa diurus, ya tidak ada salahnya mencoba untuk mengurus.” Nah, ketika Pinto sudah masuk Boarding Pass, aku pergi ke tempat pengurusan bagasi. Waktu itu aku haus sekali. Maklumlah musim panas. Nah, ternyata aku harus antri di antara mereka yang kehilangan bagasi. Tahu nggak? Antrenya saja satu jam. Waduh capek banget. Nah, ketika giliranku untuk komplain, petugas bandaranya hanya mengatakan bahwa bagasinya sudah dikirim dari kuala lumpur. Lalu aku disuruh untuk mengecek di gudang penyimpanan bagasi. Alamak…banyak banget bagasi yang terdampar di situ. Aku cek satu-satu…ternyata tidak ada. Waduh…aku sudah mulai putus asa lagi. Akhirnya setelah menjelajahi gudang penyimpanan itu selama 1 jam, aku istirahat sebentar di samping tumpukan bagasi yang kelihatan baru dikeluarkan dari pesawat. Nah, dengan putus asa, aku coba lihat-lihat tumpukan bagasi itu. DAN TERNYATA, BAGASIKU ADA DI DALAM TUMPUKAN ITU. DI BAGIAN BAWAH LAGI. ADUH SENANGNYA HATIKU. BAGASI YANG SELAMA INI MEMBUAT AKU TIDAK BISA TIDUR, SEKARANG TIBA-TIBA MUNCUL DI SAAT AKU SUDAH PUTUS ASA MENCARINYA.
Aku langsung mengambil bagasi itu dan pulang naik taksi dengan ongkos 40 euro. Dalam perjalanan pulang, aku sempat berpikir bagaimana jadinya dengan bagasiku kalau aku tidak proaktif untuk datang ke bandara. Mungkin, bagasiku sudah menumpuk di gudang dan tidak pernah diurus. Oh ya…di gudang penyimpanan bagasi di Bandara Internasional Roma tuh, ada bagasi yang dipenuhi dengan sarang laba-laba loh. Wah…seandainya itu adalah bagasiku, bagaimana ya?hehehe.
O ya, aku memang disuruh doa oleh suster orang Indonesia yang bekerja di sini agar bagasiku cepat kembali. Tetapi sekarang aku sadar bahwa tanpa usaha dan inisiatif sendiri, doa pun akhirnya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Coba kalau aku hanya berdoa saja dan tidak pernah pergi ke bandara. Mungkin, bagasiku sudah membusuk di gudang. Vitamin pemberian maminya Stefi mungkin juga sudah kadaluwarsa. Jadi, doa dan usaha sama-sama penting. Anyway, aku tetap berterimakasih sama TUHAN, sebab tanpa Dia mungkin aku tidak menemukan bagasiku. Terimakasih juga pada mereka yang mendoakanku agar dapat bertemu dengan bagasiku.hahaha. Tapi, yang penting ini ya : BANGUNLAH KEYAKINAN, MAKA YANG DIYAKINI ITU AKAN TERJADI. ITULAH KEKUATAN DALAM HIDUP INI. TANPA KEYAKINAN, TIDAK AKAN ADA MUKJIZAT. Memang, selama tiga hari sebelumnya, aku mencoba membangkitkan keyakinanku bahwa bagasiku masih ada dan akan kembali. Aku juga check di komputer apakah masih ada atau tidak. Membangkitkan keyakinan memang perlu. Tanpa itu, tidak mungkin ada keberhasilan. Ini pelajaran bagiku bahwa untuk mencapai hasil yang kelihatan tidak mungkin, harus ada doa, keyakinan, dan usaha. Mungkin ini pelajaran pertama yang dibuat Tuhan untukku di Kota Abadi Roma.
Malamnya, sebagai tanda sukacita, aku menghabiskan rokok yang ditinggalkan Pinto. Padahal aku sudah tidak mau merokok lagi. Hehehe. O ya, gara-gara kehilangan bagasi, sekarang aku lebih mengenal bandara Internasional Italia, Fiumicino di Roma daripada bandara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng. Maklum, 3 jam bolak-balik di bandara hanya untuk mencari bagasi. Hehehe.

TO BE Continued.

No comments: